email; wahyualin@gmail.com
DIFINISI
FIQH
Secara bahasa,
fikih berarti paham, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang
menghendaki pengerahan potensi akal. Para ulama usul fiqih mendefinisikan fikih
sebagai mengetahui hukum-hukum Islam (syara’) yang bersifat amali (amalan)
melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun para ulama fikih mendefinisikan
fikih sebagai sekumpulan hukum amaliah (yang sifatnya akan diamalkan) yang
disyariatkan dalam Islam.
Pengertian
fikih secara bahasa, yang berarti paham, antara lain dapat dilihat pada surah
Hud ayat 91 yang artinya: "Mereka berkata: Hai Syu'aib, kami tidak banyak
mengerti tentang apa yang kamu katakan itu..." dan surah al-An'am ayat 65
yang artinya: "...Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda
kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami." Dalam pengertian
istilah syar'i (yang berdasarkan syarak), kedua makna di atas dikandung oleh
istilah tersebut.
Dari definisi
para ulama usul fikih terlihat bahwa fikih itu sendiri berarti melakukan
ijtihad, karena hukum-hukum tersebut diistinbatkan dari dalil-dalilnya yang
terperinci dan khusus, baik melalui nas atau melalui dalalah (indikasi) nas.
Semua hal itu tidak dapat dilakukan kecuali melalui ijtihad. Dari definisi para
ulama fikih terlihat bahwa fikih merupakan syarak itu sendiri, baik hukum itu
qat'i (jelas, pasti) atau zanni (masih bersifat dugaan, belum pasti), dan
memelihara hukum furuk (hukum tentang kewajiban agama yang tidak pokok) itu
sendiri secara keseluruhan atau sebagian.
Dengan
demikian, pada definisi pertama terlihat bahwa seorang fakih (ahli fikih)
bersifat aktif dalam memperoleh hukum-hukum itu sendiri, sedangkan dalam
definisi kedua seorang fakih hanya memelihara atau menghafal hukum-hukum dari
peristiwa-peristiwa yang ada.
OBJEK BAHASAN ILMU
FIQH
Bidang bahasan
ilmu fikih adalah setiap perbuatan Mukallaf (orang dewasa yang wajib
menjalankan hukum agama), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hukum apa
yang harus dikenakan. Misalnya, jualbeli yang dilakukannya, salat, puasa, dan
pencurian yang dilakukannya. Jika jual-beli, salat, dan puasa yang
dikerjakannya memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan Islam, maka
pekerjaannya tersebut dikatakan sah. Sementara pencurian yang berlawanan dengan
kebutuhan syarak dihukumkan haram dan wajib dikenakan hukuman pencurian. Dengan
mengerjakan salat dan puasa berarti ia telah memenuhi kewajiban syara'. Dengan
demikian, setiap perbuatan mukalaf yang merupakan objek fikih mempunyai nilai
hukum.
Nilai dari
tindakan hukum seorang mukalaf tersebut bisa bersifat wajib, sunah, boleh atau
mubah, makruh, dan haram, yang semuanya ini dinamakan hukum taklifi (bersifat
perintah, anjuran, dan larangan yang wajib bagi setiap mukalaf) dan bisa juga
dengan nilai sah, batal, dan fasid (rusak), yang dikenal dengan nama hukum
wad'i (khitab/perkataan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu [hukum]).
Dari definisi
juga dapat disimpulkan bahwa objek bahasan fikih tersebut menyangkut hukum-hukum
amaliah, tidak termasuk bidang akidah dengan segala cabang-cabangnya karena hal
tersebut termasuk bidang bahasan ilmu lain. Fikih dimaksudkan agar syarak
tersebut dapat diterapkan kepada para mukalaf, baik terhadap perbuatan maupun
terhadap perkataan mereka. Fikih merupakan rujukan bagi para kadi, mufti
(pemberi fatwa), dan para mukalaf untuk mengetahui hukum-hukum syar'i dari
perkataan dan perbuatan yang mereka lakukan, sehingga para mukalaf mengetahui
apa saja yang wajib baginya dan yang haram dikerjakannya.
PEMBAGIAN HUKUM
FIQH
Para ulama
telah membagi hukum-hukum fikih tersebut sebagai berikut.
1. Hukum yang
berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti salat, puasa dan haji;
dinamakan dengan ibadah.
2. Hukum yang
berkaitan dengan permasalahan keluarga, seperti nikah, talak, masalah
keturunan, dan nafkah; disebut ahwal asy-syakhsiyyah.
3. Hukum yang
berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia dalam rangka memenuhi keperluan
masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak; disebut
muamalah.
4. Hukum yang
berkaitan dengan perbuatan atau tindak pidana; disebut jinayah atau 'uqubah.
5. Hukum yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara sesama manusia, dinamakan ahkam
al-qada'.
6. Hukum yang
mengatur hubungan antara penguasa dan warganya; disebut al-ahkam as-sultaniyyah
atau siyasah asy-syar'iyyah.
7. Hukum yang
mengatur hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai; disebut siyar
atau al-huquq ad-dawliyyah.
8. Hukum yang
berkaitan dengan akhlak, baik dan buruk; disebut dengan adab.
Keseluruhan
hukum yang disebutkan di atas tidak hanya mengandung makna keduniaan, tetapi
juga mengandung makna keakhiratan. Artinya, nilai dari suatu hukum tidak hanya
terkait dengan hukum di dunia ini, tetapi juga hukum ukhrawi, karena Islam tidak
memisahkan antara dunia dan akhirat, walaupun keduanya bisa dibedakan.
PERKEMBANGAN
ILMU FIQH
Pertumbuhan dan
perkembangan fikih sepanjang sejarah hukum Islam oleh Mustafa Zarqa dibagi
dalam beberapa periode, yaitu:
1. periode
risalah, yaitu semasa hidup Rasulullah SAW;
2. periode
al-Khulafa' ar-Rasyidun (empat khalifah besar/utama) sampai pertengahan abad
pertama Hijriah;
3. dari
pertengahan abad pertama Hijriah sampai permulaan abad kedua Hijriah;
4. dari awal
abad kedua sampai pertengahan abad keempat Hijriah;
5. dari
pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh
Hijriah;
6. dari
pertengahan abad ketujuh sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah
(Kodifikasi Hukum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani (kerajaan ottoman) yang
diundangkan tanggal 26 Sya’ban 1293; dan
7. sejak
munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah sampai pada zaman modern.
Periode
Risalah. Periode semasa hidup Rasulullah SAW. Pada periode ini fikih masih
dipahami sebagai segala yang dikandung oleh Al-Qur'an dan hadis, yaitu mencakup
persoalan akidah, ibadah, muamalah, dan adab.
Imam al-Gazali
dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin menyatakan bahwa fikih di zaman awal (masa
Rasulullah SAW) mengandung ilmu yang menuju jalan akhirat, dengan didasarkan
pada surah at-Taubah ayat 122 yang artinya: "Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya." Kalimat inzar (peringatan dengan kabar yang menakutkan) menurut
Imam al-Gazali hanya menyangkut permasalahan akhirat, bukan permasalahan dunia.
Kemudian ia juga mendasarkan pendapatnya dengan surah al-A'raf ayat 179 yang
artinya: "...Mereka metnpunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami..." Hati tidak dipergunakan memahami makna-makna iman kepada
Allah SWT dan segala yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian
Imam Al Gazali melihat bahwa permasalahan primer dari fikih tersebut adalah
yang berkaitan dengan pengetahuan tentang akhirat, sedangkan fikih yang
berkaitan dengan masalah muamalah hanyalah masalah yang sekunder atau tambahan.
Dari gambaran
di atas terlihat bahwa fikih di zaman Rasulullah SAW belum terbagi dalam
bidang-bidang tertentu, tetapi fikih mencakup segala yang terkandung dalam
Al-Qur'an dan hadis. Terciptanya hukum dalam berbagai masalah di waktu itu
dapat melalui pertanyaan para sahabat tentang suatu peristiwa, yang jawabannya
didapat dari wahyu Allah SWT atau melalui sunah Rasulullah SAW. Dalam
kesempatan lain Allah SWT juga menurunkan wahyu-Nya dalam rangka memberikan
tuntunan bagi keadaan masyarakat saat itu, atau juga berupa teguran, perintah,
dan sebagainya. Dari peristiwa-peristiwa inilah nantinya muncul hukum-hukum
yang terperinci dari peristiwa yang ada. Dengan demikian rujukan untuk
menentukan hukum di waktu itu hanya Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW.
Periode
al-Khulafa'ar-Rasyidun. Semasa Rasulullah SAW hidup, para sahabat belum
memikirkan secara serius permasalahan-permasalahan hukum karena beban ini
seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sebagai sahib at-tasyri' (pemegang
syariat). Mereka hanya mendengarkan, mengikuti, dan melaksanakan segala yang
bersumber dari Rasulullah SAW serta menyampaikan keluhan-keluhan hukum kepada
Rasulullah SAW. Para sahabat pada dasarnya tidak berani melakukan ijtihad
sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Setelah
Rasulullah SAW wafat sehingga tempat bertanya tentang hukum suatu masalah yang
tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur'an dan sunah tidak ada lagi, maka
mulailah sahabat memberanikan diri untuk melakukan ijtihad. Melakukan ijtihad
setelah wafatnya Rasulullah SAW merupakan panggilan sejarah yang tak dapat
dihindari, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. peristiwa
yang terjadi semakin banyak, sementara Rasulullah SAW yang selama ini menjadi
sumber rujukan hukum mereka tidak ada lagi dan
2. masyarakat
sudah heterogen dengan adanya penaklukan-penaklukan Islam ke luar Semenanjung
Arab, sehingga muncul di tengah-tengah umat Islam hukum dan kebudayaan baru
yang kesemuanya ini mendorong para sahabat untuk melakukan ijtihad.
Setiap
menghadapi permasalahan yang muncul, pertama kali mereka berusaha untuk
menemukan jawabannya di dalam Al-Qur'an. Jika mereka tidak dapati dalam
Al-Qur'an, mereka meneliti hadis-hadis Nabi SAW. Apabila dalam hadis Nabi SAW
juga tidak ada jawabannya, maka mereka melakukan ijtihad dengan tetap berpegang
pada prinsip-prinsip pokok yang ditinggalkan Rasulullah SAW. Dengan demikian
bermunculanlah hasil ijtihad para sahabat dalam berbagai permasalahan umat.
Namun, di masa ini fikih belum merupakan bidang ilmu yang terkodifikasi. Dalam
pada itu perlu dicatat bahwa pada masa inilah dimulainya penggunaan akal
(ar-ra'yu) dan kias dalam mencarikan jawaban hukum terhadap peristiwa yang
terjadi. Beberapa ijtihad telah dilakukan oleh Umar bin Khattab, khalifah yang
sangat mengagumkan dalam menjawab permasalahan umat dan berorientasi untuk
kemaslahatan umat itu sendiri.
Periode
Pertengahan Abad Pertama sampai Awal Abad Kedua Hijriah. Pada masa Usman bin
Affan menjabat sebagai khalifah, para sahabat mulai berpencar ke berbagai
daerah. Dengan berpencarnya sahabat ini di berbagai daerah, yang sistern sosial
masyarakatnya berbeda pula, maka semakin banyak hasil ijtihad yang muncul
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Di Irak, Ibnu Mas’ud berperan
sebagai sahabat yang menjawab berbagai masalah yang dihadapinya di sana,
sementara sistem masyarakat Irak berbeda dengan yang ada di Madinah dan Mekah.
Di samping itu di Irak telah terjadi percampurbauran etnis antara Arab dan
Persia (Iran), yang membuat penanganan permasalahan di Irak akan berbeda dengan
yang ada di Madinah dan Mekah yang memiliki masyarakat yang homogen. Dalam
berijtihad, Ibnu Mas'ud mengikuti cara-cara yang telah dilakukan Umar bin
Kattab, yang dikenal lebih berorientasi pada kepentingan umat dan kemaslahatan
mereka, tanpa terlalu terikat dengan teks-teks (arti harfiah) Al-Qur'an dan
sunah. Dengan demikian penggunaan nalar sangat dominan dalam berijtihad. Dari
sinilah mulai munculnya madrasah atau aliran Ah-lur Ra'yi di Irak.
Sementara itu
di Madinah fikih dikembangkan oleh Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar bin
Khattab, serta di Mekah oleh Ibnu Abbas dan para sahabatnya. Fukaha kedua kota
ini nantinya mempunyai metode yang sama dalam menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat, yaitu berusaha untuk menentukan hukum
tersebut melalui Al-Qur'an dan sunah. Mereka senantiasa mencarikan hadis dan
berpegang kuat pada hadis dalam menetapkan hukum. Hal ini dimungkinkan untuk
kedua kota tersebut karena memang di kedua kota ini hadis-hadis banyak
tersebar, di samping masyarakatnya homogen, sehingga penanganan permasalahan
yang timbul tidak sekompleks permasalahan yang dihadapi Ibnu Mas'ud di Irak.
Cara-cara yang ditempuh oleh para sahabat di Madinah dan Mekah inilah yang
nantinya merupakan cikal bakal bagi munculnya aliran Ahlulhadis.
Murid-murid
Ibnu Mas'ud, Zaid bin Sabit, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas tersebut nantinya juga
bertebaran di kota-kota lain, misalnya Sa'id bin Musayyab di Madinah, Ata bin
Abi Rabah di Mekah, Ibrahim an-Nakha'i di Kufah, Hasan Basri di Basra, Makhul
di Syam (Suriah), dan Tawus di Yaman. Murid-murid para sahabat ini (yang
dikenal dengan tabiin) juga mengembangkan fikih-fikih baru sesuai dengan
permasalahan yang mereka hadapi di kota tempat mereka tinggal yang satu sama
lain juga berbeda.
Dari gambaran
di atas terlihat bahwa fikih semakin berkembang sesuai dengan keadaan
masyarakat yang dihadapi. Penggunaan ar-ra'yu (akal) pada masa ini dalam
berijtihad, seperti cara kias, istihsan, dan istislah (membetulkan), semakin
luas dan mulailah terbentuk mazhab-mazhab fikih. Mazhab fikih yang terbentuk
ini mengikuti nama-nama para tabiin yang menjadi pemegang fatwa hukum di negeri
tersebut. Misalnya, dalam sejarah perkembangan fikih dikenal adanya istilah
fikih Auza dan fikih Ibrahim an-Nakha'i. Di samping itu fikih juga sudah
merupakan salah satu cabang ilmu yang mendapat perhatian para ulama di waktu
itu, yang menjadi dasar kesempurnaan ilmu fikih di zaman sesudahnya di tangan
imam mazhab yang empat (Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, dan Imam
Hanbali).
Periode Awal
Abad Kedua sampai Pertengahan Abad Keempat Hijriah. Pada periode ini fikih
berkembang dengan pesat setelah pada periode sebelumnya diletakkan
dasar-dasarnya oleh para Tabiin. Periode ini ditandai dengan munculnya
imam-imam mazhab yang terdiri atas Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab maliki.
Mazhab Syafiie, dan m\Ma Mazhab Hanbali.
Pada awal
periode ini terjadi perdebatan sengit antara Ahlulhadis dan Ahlur Ra’yi. Pada
akhirnya pertentangan ini dapat mereda tatkala ar-ra'yi dapat dianggap sebagai
salah satu cara dalam meng istinbat kan hukum fikih melalui batasan-batasan dan
kaidah-kaidah yang ditentukan oleh Ahlur Ra'yi, sehingga dengan kaidah-kaidah
yang mereka buat tersebut mereka terhindar dari tuduhan menetapkan hukum dengan
hawa nafsu yang terlepas dari dalil syar'i.
Imam Abu Zahrah
(ahli usul, fikih, dan kalam) mengemukakan bahwa perdebatan ini tidak
berlangsung lama karena para murid imam mazhab melakukan interaksi dengan
mazhab lainnya, seperti yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, sahabat Imam Hanafi, yang sengaja mendatangi Hedzjaz untuk
mempelajari kitab al-Muwatta' karangan Imam Malik; Imam Syafi’i menemui Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani ke Irak untuk mengetahui secara jelas fikih
ahli Irak; dan Imam Abu Yusuf, sahabat Imam Hanafi, berusaha untuk mencari
hadis-hadis yang mendukung pendapat Ahlur Ra'yi. Oleh sebab itu terlihat banyak
kitab-kitab fikih dari kedua kelompok ini yang dipenuhi oleh hadis dan ar-ra'yu.
Pada awal
periode ini juga dilakukan pembukuan kitab-kitab fikih yang dilakukan pada
setiap mazhab, di antaranya kitab al-Muwatta' oleh Imam Malik, kitab al-Umm
oleh Imam Syafi'i, dan kitab fikih yang disusun oleh Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani (murid Imam Hanafi). Demikian juga halnya dengan ilmu usul fikih;
yang paling awal adalah buku ar-Risalah karangan Imam Syafi'i.
Perkembangan-perkembangan
yang ada ini juga membawa dampak yang lebih luas. Fikih tidak saja
di-istinbat-kan dan disusun sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat dan
sesuai dengan kehendak perkembangan zaman, tetapi juga muncul hukum fikih yang
membahas tentang berbagai kemungkinan dalam masalah-masalah fikih yang belum
terjadi.
Periode
Pertengahan Abad Keempat sampai Pertengahan Abad Ketujuh Hijriah. Pada periode
ini terlihat gerakan ijtihad mulai melemah. Para fukaha lebih memfokuskan diri
mereka untuk melakukan pengkajian-pengkajian terhadap pendapat-pendapat yang
ada dalam mazhab masing-masing. Kajian tersebut merupakan syarah (keterangan,
penjelasan, ulasan), tanqih (penerapan), dan tahqiq (penetapan) terhadap
buku-buku fikih dalam mazhab mereka masing-masing. Hal ini dilakukan para ulama
tersebut karena adanya suatu anggapan bahwa tidak ada lagi ulama yang memenuhi
syarat-syarat mujtahid pada periode itu. Kalaupun ada, mereka itu hanya
merupakan mujtahid fi al-mazhab (mujtahid dalam aliran mazhab), bukan mujtahid
mustaqill (mujtahid yang berdiri sendiri). Lebih dari itu ada di antara ulama
mazhab tersebut yang mengemukakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Abu Zahrah
mengemukakan bahwa penyebab munculnya pernyataan tertutupnya pintu ijtihad
antara lain adalah :
1. munculnya
ta'assub al-mazhab (fanatik buta pada satu mazhab), yang mengakibatkan
kejumudan (kebekuan berpikir) bagi para murid-murid imam mazhab itu sendiri;
2. dorongan
pihak penguasa bagi para hakim (kadi) untuk memutuskan perkara dengan berpegang
pada pendapat satu mazhab saja yang disetujui oleh khalifah; dan
3. pembukuan
pendapat-pendapat mazhab tertentu pada satu buku yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku tersebut sebagai pedoman,
sehingga membuat aktivitas ijtihad tidak ada lagi.
Jika pada
periode sebelumnya para mujtahid menjawab permasalahan yang timbul melalui
ijtihad yang mereka lakukan, maka dengan dibukukannya pendapat para imam,
mereka merasa cukup untuk mencarikan jawabannya melalui buku tersebut dengan
tidak melakukan ijtihad sendiri. Implikasi lainnya adalah munculnya taklid
terhadap mazhab tertentu. Walaupun ada ijtihad yang dilakukan oleh beberapa
ulama, tetapi ijtihad itu tidak lebih dalam bentuk men-tarjih pendapat yang ada
dalam mazhabnya.
Pada masa ini
juga terjadi persaingan ketat antara pengikut mazhab. Dalam persaingan ini
kadang-kadang sifat subjektivitas lebih menonjol daripada sifat ilmiah dan
berbeda dengan sikap imam mazhabnya.
Periode
Pertengahan Abad Ketujuh Hijriah sampai Muncul Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah
(1293 H). Jika pada periode sebelumnya aktivitas ijtihad sudah mulai mundur
yang mengakibatkan kejumudan dan taklid, maka pada periode ini fikih semakin
memperlihatkan wajah kekakuannya. Ijtihad sudah semakin tertutup dan
penyelesaian permasalahan yang muncul tinggal merujuk pada kitab-kitab mazhab
yang ada saja, tanpa dibahas dan didiskusikan lagi. Pencapaian maksud-maksud
syarak (maqasid asy-syar'iyyah) dan orientasi pada kepentingan umat yang pada
awal munculnya fikih banyak menjadi sandaran pertimbangan hukum, pada periode
ini tidak menjadi pertimbangan lagi. Pembahasan fikih oleh para ulama terbatas
pada pemberian syarah, hasyiah (catatan tertulis di tepi lembaran buku), dan
takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan) terhadap kitab-kitab induk dalam
mazhab masing-masing. Oleh sebab itu kitab-kitab yang ditulis pada masa ini
lebih banyak bersifat penjelasan serta perluasan pemahaman terhadap apa yang
ditulis oleh pengarang terdahulu. Oleh karenanya, satu buku bisa disyarah oleh
lebih dari dua orang. Kalimat singkat yang terdapat dalam kitab induk bisa
disyarah sampai berhalaman-halaman. Kemudian syarah ini disyarah lagi oleh yang
lainnya, dan seterusnya.
Apa yang
dikenal di kalangan fukaha dengan istilah syarah, hasyiah, dan takrir pada
umumnya dimaksudkan sebagai penjelasan lafal yang tertulis dalam kitab
tersebut, tanpa mencoba mengungkap tujuan ilmiah yang dikandung kitab itu. Hal
ini pada akhirnya membuat kreativitas ilmiah secara mandiri yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan masyarakat tidak lagi muncul. Namun, apa yang dilakukan
para fukaha pada periode ini tak lepas dari niat ingin mempermudah pemahaman
kitab-kitab induk tersebut.
Ada beberapa
hal penting dalam perkembangan fikih pada periode ini. Pertama, berkembangnya
aktivitas pembukuan fatwa-fatwa hukum resmi dengan menyusunnya pada bab-bab
tertentu. Kitab-kitab fatwa ersebut biasanya disusun dalam bentuk tanya jawab,
yang jawaban tersebut biasanya disandarkan pada mazhab tertentu. Kedua,
munculnya kehendak penguasa dalam menentukan sebagian hukum fikih, seperti yang
dilakukan oleh penguasa Usmani tentang larangan menerima gugatan perkara jika
telah melalui rentangan waktu tertentu (dalam istilah hukum: kadaluarsa). Hal
ini terjadi pada kasus-kasus peradilan dan diatur tersendiri oleh penguasa
Usmani pada waktu itu. Kehendak penguasa untuk menerapkan hukum-hukum tertentu
atau penguasa ikut campur dalam menentukan pilihan hukum yang akan diterapkan
peradilan merupakan warna lain dari fikih pada periode ini. Ketiga, munculnya
usaha pengkodifikasian hukum pada akhir periode ini dalam bentuk undang-undang
sebagai pengganti hukum fikih Mazhab Hanafi yang merupakan mazhab resmi Turki
Usmani. Usaha ini dilakukan setelah mempertimbangkan perkembangan-perkembangan
baru dan pengaruh hukum-hukum Eropa, sehingga muncullah hukum perdata resmi
Turki Usmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah pada 26 Syakban 1293.
Periode
Munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah sampai Periode Modern. Mustafa Zarqa
mengemukakan bahwa ada tiga ciri fikih Islam pada masa ini.
Pertama,
munculnya kodifikasi fikih sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu yang terhimpun
dalam Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah yang khusus memuat hukum-hukum mengenai
muamalah, yang dalam istilah hukum positif disebut dengan hukum perdata. Sebelumnya,
yang menjadi pegangan resmi Kerajaan Usmani adalah fikih Hanafi. Namun fikih
Hanafi itu sendiri terdiri atas berbagai pendapat sesuai dengan yang
dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanafi itu sendiri, sehingga sulit dilakukan
pemilihan hukum mana yang akan diterapkan dari pendapat yang ada dalam mazhab
tersebut. Oleh sebab itu diperlukan kesatuan hukum yang akan dijadikan pedoman
dan sekaligus diterapkan di kerajaan, sehingga muncullah pemikiran kodifikasi
hukum ini, walaupun sumber utamanya adalah Mazhab Hanafi. Pendapat yang dipilih
dalam Mazhab Hanafi ini adalah pendapat yang lebih dekat dengan kepentingan
masyarakat pada masa itu. Dengan usaha kodifikasi hukum ini,. maka para
praktisi hukum tidak perlu berijtihad lagi untuk memilih hukum mana yang akan
diterapkan.
Kedua, semakin
meluasnya usaha untuk melakukan kodifikasi hukum; bukan saja hukum perdata,
tetapi juga hukum pidana, hukum acara, dan hukum administrasi negara. Namun
yang erat hubungannya dengan fikih Islam hanyalah hukum perdata. Hukum-hukum
lain tersebut sudah mulai bersumber dari hukum Barat. Dalam hukum perdata
tersebut terkandung tiga hal, yaitu undang-undang yang mengatur tata
niaga/perdagangan, undang-undang pertanahan, dan hukum acara perdata. Semakin
meluasnya usaha kodifikasi ini dipengaruhi antara lain oleh semakin meluasnya
hubungan ekonomi dalam dan luar negeri, kecenderungan penguasa untuk mengikat
berbagai bentuk tindakan hukum, transaksi tanah dan lain sebagainya dengan tata
administrasi yang baik dan rapi, dan kecenderungan penguasa ikut campur dalam
masalah-masalah hukum dalam mengatur segala segi kehidupan masyarakat. Dengan
demikian ada dua bentuk kodifikasi hukum pada waktu itu, yaitu kodifikasi
bidang materi (seperti hukum perdata dan hukum pidana) dan kodifikasi bidang nonmateri,
yaitu yang menyangkut proses penyelesaian perkara sejak pengajuan gugatan
sampai penetapan vonis oleh hukum, yang disebut dengan hukum acara.
Ketiga,
munculnya usaha untuk menerapkan materi hukum tanpa terikat pada salah satu
mazhab saja dari mazhab yang empat, tetapi juga mulai mempertimbangkan
mazhab-mazhab yang selama ini sering tidak diungkapkan, seperti mazhab Makhul,
Hasan Basri, an-Nakha'i, Auza, dan Abi Laila. Dengan demikian setiap daerah
tidak hanya membatasi diri pada satu mazhab tertentu. Hal ini nantinya juga
banyak berpengaruh dalam penyempurnaan Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah tersebut.
Selanjutnya pada masa ini juga muncul kodifikasi hukum keluarga, yang dikenal
dengan sebutan qanun al-ahwal asysyakhsiyyah, yang materi hukumnya tidak terikat
dengan pendapat mazhab tertentu saja. Sebagian ulama pada periode modern ini
berpendapat bahwa keseluruhan mazhab tersebut harus dipandang sebagai satu
mazhab saja dalam syariat Islam, sedangkan mazhab-mazhab pribadi, seperti
Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i, dianggap sebagai salah satu pendapat dari
keseluruhan syariat. Dengan demikian dalam melakukan kodifikasi hukum para
pakar hukum bebas untuk memilih pendapat mana yang lebih sesuai dengan zamannya
dan memenuhi kepentingan umat. Pemikiran ini ingin menghilangkan ta'assub
mazhab (fanatisme kemazhaban) yang selama ini menjadi kendala ijtihad.
Dari berbagai
periode fikih yang disebutkan di atas terlihat bahwa fikih itu dimulai dengan
cara yang sederhana dan muncul untuk permasalahan-permasalahan praktis (amali),
kemudian berkembang sampai pada pertimbangan yang sifatnya bukan praktis lagi,
tetapi sudah merupakan suatu pengandaian, dalam arti menjawab permasalahan yang
belum terjadi (yang lazim disebut dengan istilah fikih taqdiri). Hal ini berakibat
pada terjadinya banyak perbedaan pendapat dalam fikih, kecenderungan
mempertahankan pendapat, dan tertutupnya pintu ijtihad. Namun sebaliknya, yang
disebut terakhir ini membuat khazanah kitab-kitab fikih semakin banyak, yang
menunjukkan kemampuan ilmiah para pengarang waktu itu.
Pada periode
modern kecenderungan fikih lebih menjurus pada ketidakterikatan pada salah satu
mazhab, dan bahkan menganggap pendapat satu mazhab tersebut sebagai salah satu
pendapat saja yang tidak mutlak diikuti. Periode modern juga diwarnai oleh
kecenderungan dan pertimbangan praktis, sesuai dengan keadaan masyarakat dan
perkembangan zaman.
SUMBER HUKUM
FIQH
Sumber dari
produk hukum dengan segala pembagiannya yang disebutkan di atas oleh para ulama
dibagi dalam dua bentuk, yaitu yang disepakati sebagai sumber dan yang
diperbedakan. Sumber yang disepakati tersebut adalah Al-Qur'an dan hadis.
Adapun Ijmak dan kias dinyatakan sebagai sumber hukum oleh kebanyakan ulama.
Sebagian ulama, betapa pun kecilnya jumlah mereka, ada yang memandang ijmak dan
kias hanya sebagai alat penggali hukum, bukan sumber hukum. Dalil-dalil hukum
Islam lainnya yang diperselisihkan ulama ialah istihsan, al-Maslahah
al-Mursalah al-Mursalah, 'urf(adat istiadat),sadd az-zari'ah (Usul Fikih),
istishab, dan lain sebagainya.
Mustafa Zarqa
(ahli usul dan fikih) mengatakan bahwa bagian yang disepakati tersebut
dinamakan al-masadir al-asasiyyah (sumber pokok), sedangkan bagian yang
diperselisihkan dinamakan al-masadir at-taba'iyyah (sumber sekunder). Disebut
sumber sekunder karena kias, ijmak, istihsan, dan sebagainya itu tidak dapat
berdiri sendiri dalam menetapkan hukum, akan tetapi harus disandarkan pada
Al-Qur'an dan hadis.
Perbedaan dalam
menggunakan metode bisa menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Karena itu
penilaian tentang hukum suatu perbuatan mukalaf bisa pula lebih dari satu. Hal
ini sangat tergantung kepada mujtahid (ahli ijtihad) mana dan metode apa yang
digunakan dalam menyelesaikan atau mencarikan hukum perbuatan mukalaf tersebut.
Misalnya, setiap pemegang amanah tidak dituntut pertanggung-jawabannya jika
barang titipan yang diamanahkan kepadanya untuk dipelihara rusak atau hilang
tanpa disengaja. Hukum tidak dituntutnya pertanggung-jawaban pemegang amanah
ini didasarkan pada kehendak kaidah umum (kias). Namun, pendapat lain yang
mempergunakan kehendak istihsan mengatakan bahwa jika hukum umum itu
diberlakukan untuk segala tempat dan zaman, apalagi pada saat sifat amanah
sudah mulai berkurang, maka hal ini akan membawa pada sikap memakan hak orang
lain secara batil (tidak benar). Untuk itu agar yang disebut terakhir ini dapat
dihindari, pemegang amanah adakalanya harus diminta pertanggung-jawabannya.
Misalnya, jika tukang binatu mengatakan bahwa pakaian yang diserahkan kepadanya
untuk dicuci hilang, maka ia Naskah tua ilmu fikih yang ditemukan di Kampung
Cangkuang, Kec. Leles, Garut.harus diminta pertanggung-jawabannya, sekalipun
hilangnya pakaian tersebut tidak disengaja; kecuali jika penyebabnya adalah
sesuatu yang tak mungkin diatasi manusia (seperti kebakaran dan kebanjiran).
Hal ini dilakukan agar pemegang amanah tersebut tidak mempergunakan posisinya
untuk mencari keuntungan yang besar. Cara yang ditempuh ini oleh ulama dari
kalangan Mazhab Hanafi disebut istihsan. Dari contoh ini terlihat bahwa dalam
kasus yang sama, tetapi cara penyelesaian masalahnya berbeda, maka hukumnya pun
berbeda. Kias menghendaki pemegang amanah tidak bertanggung jawab terhadap
kerusakan atau hilangnya barang yang diamanahkan, selama itu bukan karena
kesengajaan dan kelalaian dia. Istihsan menentukan bahwa pertanggung-jawabannya
harus diminta, sekalipun bukan dengan kesengajaan dan kelalaian. Pemegang
metode istihsan berpendapat, kalau tidak demikian, maka kesempatan ini akan
dipergunakan oleh pemegang amanah untuk mengeruk keuntungan lebih banyak dengan
cara ilegal.
blog ; http://wahyualinursalim.blogspot.com